Dunia esek-esek memang tak ada habisnya untuk dikupas, apalagi di kota
metropolitan seperti Jakarta. Mulai dari remangnya lampu warung pinggir
jalan, hingga gemerlapnya lampu kamar hotel, semua tersedia.
Termasuk yang belakangan kembali menjadi primadona pria hidung belang,
pijat plus-plus. Sudah jadi rahasia umum, bisnis prostitusi berkedok
panti pijat, mulai marak di Ibu Kota. Dengan menyajikan wanita muda
seksi dan berpakaian minim sebagai daya tarik, para pria hidung belang
pun rela menguras kocek lebih dalam-dalam untuk menikmatinya. Lihat Juga Foto Seksi payudara Nikita Mirzani | Foto Tante-tante Kesepian yang Hot Abiss
Sebut saja di bilangan Mangga Besar, Jakarta Pusat, Taman Sari, Jakarta
Barat dan Tebet, Jakarta Selatan, merupakan beberapa wilayah di Ibu Kota
yang kerap menjadi tujuan. Lokasinya yang berada di tengah kota, dekat
permukiman dan sederet dengan pusat-pusat perdagangan, menjadikan griya
pijat plus-plus di beberapa wilayah tersebut selalu ramai pengunjung.
Layaknya tempat perawatan tubuh pada umumnya, hampir seluruh griya pijat
plus-plus memiliki fasilitas lengkap. sauna, kolam air panas, ruang
pijat dan sebagainya. perlengkapan kebersihan pun telah disediakan di
sana, mulai dari handuk, celana, baju mandi hingga sabun.
Setelah puas berendam dan mandi, pelanggan langsung memilih wanita yang
akan melayaninya. Siska (bukan nama sebenarnya), salah seorang pemijat
atau yang akrab disebut theraphist, mengungkapkan, dirinya bisa melayani
4 hingga 5 orang per harinya. Terlebih jika menjelang akhir pekan,
wanita yang baru berusia 19 tahun itu bisa melayani hingga 7 orang per
hari. Waktu-waktu yang kerap menjadi jam ramai adalah pukul 19.00 WIB
hingga pukul 22.00 WIB.
"Ya mungkin jam-jam segitu pas lagi capek-capeknya pulang kerja, di
jalan macet, mampir ke sini dulu. Kalau Minggu malah kurang, biasanya
Jumat atau Sabtu sudah mulai ramai," ujarnya.
Soal harga, masing-masing griya pijat memiliki variasi. Kisarannya
antara Rp 100 ribu hingga Rp 400 ribu, tergantung jenis pijatan dan
kualitas ruangan pijat. Sementara, untuk servis ekstra sang theraphist,
tentu berbeda lagi. Pelanggan harus membayar dua kali lipat bahkan lebih
kepada si theraphist.
Seperti yang dikatakan theraphist lainnya, Irene (21) (bukan nama
sebenarnya). Dari griya pijat tempatnya bekerja, Irene hanya mendapat
gaji Rp 10 ribu per pelanggan. Karena nominal yang kecil itu, hidupnya
bergantung pada tips para pelanggan setianya. Tentunya dengan pelayanan
ekstra.
"Rata-rata tamu ngasih tips Rp 50 ribu sampai Rp 200 ribu. Kalau sama
'main', ya nego saja. Bisa Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu," ujar Iren,
yang telah menjadi theraphist selama satu tahun terakhir.
Bagi pelanggan yang hampir seluruhnya kaum Adam, faktor penat atas
pekerjaan dan mencari sensasi petualangan seksual yang baru menjadi
alasan mereka mencicipi pijatan para theraphist. Salah satunya Edo (26),
warga Jakarta Timur. Pria yang bekerja di sebuah perusahaan ternama itu
mengaku kerap menggunakan jasa para theraphist cantik di griya pijat
atas barbagai alasan tersebut.
"Sensasinya itu loh, bikin saya balik ke sini lagi. Apalagi pas lagi
capek-capeknya kerja, setelah dipijat rasa capeknya hilang semua,"
ujarnya.
Berkunjung ke griya pijat plus-plus, telah menjadi agendanya. Bersama
rekan kerjanya, Edo datang dan menikmati layanan pijat plus-plus minimal
satu kali tiap bulannya. Tentunya, tanpa sepengetahuan sang kekasih.
Bahkan, jika bosan melanda, berbagai cara pun digunakan untuk mencari
informasi, griya pijat mana di Jakarta yang memberikan pelayanan ekstra.
"Biasanya nyari-nyari di internet atau nggak dapat info dari teman, oh
di sini yang bagus. Buat cari sensasi lain lagi saja," cetus Edo.
Stop Melonte
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta,
tak menutup mata atas fenomena di masyarakat tersebut. Namun, dinas
seakan tak berdaya akan maraknya bisnis prostitusi berkedok griya pijat
tersebut. Pasalnya, layaknya efek balon gas, jika satu sisi di tekan,
akan muncul di sisi yang lainnya.
"Pastinya kita sudah memantau. Nah, Informasi seperti ini kita tampung,
kita tertibkan," ujar Arie Budiman, Kepala Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan DKI Jakarta, saat dihubungi secara terpisah.
Arie menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki peraturan
perundangan yang mengatur tentang peruntukan izin usaha dan jam
operasional tempat-tempat tersebut, yaitu Pasal 43 dan Pasal 44 Perda
DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004. Jika dilanggar, berbagai sanksi mulai
dari teguran lisan, teguran tertulis, hingga pencabutan izin usaha,
mengintai griya-griya pijat tersebut.
Realitas sosial semacam ini, kata Arie, tak mudah untuk diselesaikan.
Terlebih, bisnis prostitusi 'numpang' pada sektor pariwisata sehingga
sulit diberantas.
Oleh sebab itu, Dinas Parawisata dan Kebudayaan DKI berharap ada gerakan
kolektif dari semua unsur, mulai dari orang tua, sekolah, pemuka agama,
pihak kepolisian untuk mencegah tindakan maksiat.
"Harus ada gerakan kolektif. Misalnya kita punya gerakan stop melonte, itu kalau semua pihak konsekuen," tuturnya.
Bagaikan membasmi jamur di musim hujan, Arie menegaskan, Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta akan terus melakukan perbaikan
kebijakan terkait fenomena sosial itu. Yang paling penting, lanjut Arie,
pihaknya tetap memiliki komitmen, industri pariwisata Ibu Kota steril
dari aktivitas prostitusi.
http://forum.viva.co.id/aneh-dan-lucu/548585-mengintip-dekat-daleman-panti-pijat-plus-yang-sensasional.html
Mengintip Dekat Daleman Panti Pijat Plus Yang Sensasional
Posted by
blogger asik
at
10.49
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »