Situs Tralaya merupakan sebuah komplek pemakaman Islam yang berada di
pusat lokasi peninggalan kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa
Timur. Ciri khas keislaman situs tersebut ditunjukkan dengan adanya
tulisan Arab di beberapa nisannya yang berupa kalimat tauhid, ayat-ayat
Al-Qur'an maupun doa-doa khas Islam. Situs ini ditemukan dan dikenal
sejak abad XIX, dan diakui sebagai salah satu bukti eksistensi penganut
agama Islam di zaman Majapahit.
Tidak hanya itu, orang-orang yang dimakamkan di tralaya tersebut
diyakini sebagai para pejabat istana Majapahit. Hal itu dibuktikan
dengan letaknya yang berdekatan dengan lokasi yang diduga sebagai pusat
kerajaan Majapahit. Di samping itu, pada nisan-nisan Tralaya dipahatkan
Surya Majapahit, yang disebut-sebut sebagai lambang dinasti Majapahit.
Hal tersebut sangat memungkinkan, mengingat lambang dinasti kerajaan
tidak boleh sembarangan digunakan oleh penduduk biasa. Angka tahun yang
tertera pada nisan-nisan tersebut, yaitu 1368 hingga 1611, juga menjadi
pendukung kuat dugaan tersebut bahwa sebagian mereka hidup di masa
keemasan Majapahit.
Intinya, dari penelitian sementara terhadap komplek pemakaman Tralaya
dapat disimpulkan bahwa situs pemakaman tersebut adalah bukti sejarah
yang menunjukkan bahwa umat Islam telah eksis di zaman Majapahit. Mereka
tidak hanya menjadi penduduk biasa, tetapi mampu menjadi pejabat di
istana yang tentunya sedikit banyak berperan aktif di dalamnya.
Orientalis Menolak
Ketika masih baru ditemukan, hampir semua orientalis meragukan keaslian
nisan-nisan Tralaya. Bahkan mereka menolak mentah-mentah kaitan situs
tersebut dengan kerajaan Majapahit. Sebut saja L.W.C. van den Berg yang
meragukan keaslian data epigrafi Arab pada nisan-nisan Tralaya tersebut.
Dalam laporannya tertanggal 1/2/1887, Ia dengan tegas meragukan
keaslian tulisan makam tersebut karena tulisan Arabnya kasar dan banyak
salah tulis. Menurutnya, inskripsi Arabnya sengaja ditambahkan kemudian
pada artefak yang berisi tahun Saka tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Veth yang memerkirakan bahwa nisan-nisan
tersebut berasal dari batu-batu candi. Artinya, ia tidak hanya meragukan
keaslian tulisannya tetapi juga meragukan keaslian makam tersebut yang
kemungkinan hanya batu-batu yang sengaja ditulis Arab dan disusun
sedemikian rupa. Dan, pendapat yang paling ekstrim disampaikan oleh N.J.
Krom yang menegaskan bahwa situs Tralaya tidak mempunyai nilai
Arkeologis sama sekali.
Tidak mengherankan jika para orientalis tersebut berpendapat seperti itu
karena dalam benak mereka kerajaan Majapahit adalah kerajaan
Hindu-Budha dan sekaligus Jawa yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Di
samping itu, mereka tidak yakin umat Islam yang kuantitasnya sangat
kecil pada saat itu mampu ikut andil dalam kerajaan Majapahit. Dan,
yang lebih penting, memang karakter dari para orientalis terkesan selalu
mendiskreditkan eksistensi serta peran umat Islam di Nusantara,
sebagaimana ditegaskan oleh Al-Attas.
Pendapat para orientalis tersebut mulai berubah setelah L.C. Damais
memublikasikan hasil penelitiannya terhadap situs Tralaya pada tahun
1957.[4] Hasil penelitiannya tersebut tidak hanya mengritisi
pendapat-pendapat pendahulunya, tetapi juga mengungkap fakta menarik
yang menyangkut proses interaksi budaya Islam dan Jawa pada masa itu.
Kajian epigrafis terhadap huruf Jawa Kuno yang dipahatkan pada nisan di
Tralaya maupun situs Trowulan dan sekitarnya menunjukkan adanya
kesesuaian dengan unsur paleografis huruf Jawa kuno dari periode akhir
abad XV. Kesimpulan Damais tersebut didasarkan atas studi huruf Jawa
Kuno dalam konteks nisan makam Tralaya. Ini berarti tulisan yang
terpahat pada nisan-nisan Tralaya memang asli dan bukan tulisan baru
sebagaimana dituduhkan Berg sebelumnya.
Lebih lanjut, Damais membuktikan telah terjadi saling pengaruh antara
kebudayaan Jawa dengan Islam pada abad XV. Kajian tentang huruf yang
terdapat pada makam Tralaya menunjukkan bahwa bentuk angka Jawa kuno
dipengaruhi oleh bentuk tulisan Arab yang serba tebal dan besar.
Termasuk gaya tulisan Arab pada nisan-nisan Tralaya merupakan suatu
variasi kaligrafi yang berciri lokal dan tidak sama dengan gaya tulisan
kaligrafi di Timur Tengah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Berg
dan orientalis lainnya kebingungan dengan bentuk-bentuk huruf tersebut,
karena tidak sesuai dengan standar penulisan kaligrafi di Timur Tengah.
Menariknya, kesalahan penulisan Arab pada nisan Tralaya bukan
satu-satunya kasus yang terjadi. Hal itu terjadi hampir di semua
penulisan Arab pada masa itu, termasuk penulisan naskah-naskah berbahasa
Jawa. Penyebabnya tidak lain karena penulisnya adalah seorang Muslim
Jawa atau "Pribumi" yang bukan dari kalangan ulama atau penutur bahasa
Arab yang mahir. Tidak mengherankan jika penulisan teks Arab pada
nisan-nisan tersebut dianggap salah oleh para peneliti seperti Berg.
Padahal, menurut Habib Mustopo, dalam menulis kutipan berbahasa Arab,
Muslim-Jawa sering menulis berdasarkan bunyi fonemnya dan bukan sesuai
kaidah penulisannya. Menurut dia, hal ini sudah berlaku secara umum
bahwa penulisan bahasa Arab telah mengalami perubahan fonem menurut
ucapan Jawa. Ia mencontohkan dalam naskah berbahasa Jawa terdapat
kutipan "huwa napiyyullutallak" seharusnya huwa 'Inafyu' I-mutlaq.[6]
Dalam dalam Serat Praniti Wakja Djangka Djojobojo terdapat kata "lochil
ma'pule" untuk mengatakan "lauh al mahfudz".[7] Bahkan dalam Serat
Centini sekalipun terdapat kata "holomodin" untuk menyebut kitab Ihya'
Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.
Setelah muncul dan berkembangnya pusat-pusat studi keislaman yang
diwakili oleh pesantren-pesantren, barulah penggunaan bahasa Arab mulai
marak dan menuju ke arah yang semakin baku. Untuk memermudah menyalin
fonem beberapa huruf Arab ke dalam huruf Jawa ditambahkanlah tanda
diakritik untuk huruf-huruf Jawa tertentu. Termasuk sebaliknya, ketika
huruf Arab mulai digunakan untuk menulis manuskrip dalam bahasa Jawa,
huruf Arab itupun ditambah dengan tanda diakritik yang dapat menampung
fonem bahasa Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya, tulisan-tulisan
dengan karakter seperti ini disebut dengan tulisan Arab pegon yang masih
digunakan di pesantren hingga sekarang.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Situs Tralaya merupakan bukti otentik adanya komunitas Muslim di masa kejayaan Majapahit.
2. Komunitas Muslim yang dimakamkan di situs Tralaya adalah
orang-orang dekat istana, baik para pejabat istana Majapahit maupaun
keluarganya.
3. Tuduhan sebagian orientalis terhadap keaslian situs Tralaya
terbantahkan dengan penelitian LC Damais yang membuktikan bahwa
nisan-nisan di Tralaya adalah asli berdasarkan kajian epigrafi.
4. Terjadi interaksi damai antara budaya Islam dengan Jawa pada masa-masa awal kedatangan Islam di Jawa.
http://forum.viva.co.id/sejarah/548856-situs-tralaya-bukti-sejarah-yang-diabaikan-orientalis.html
Situs Tralaya, Bukti Sejarah Yang Diabaikan Orientalis
Posted by
blogger asik
at
01.41
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »