BANYAK orang asing mempunyai kesan sama tentang Indonesia. Mereka umumnya menilai negeri ini cukup menyenangkan, dengan sikap warga yang ramah dan murah senyum. Namun yang agak mengganggu, negeri ini dinilai terlalu berisik.
”Di mana-mana berisik,” kata James Davidson, pengajar di Universitas Nasional Singapura asal Texas Amerika Serikat, kepada penulis beberapa waktu lalu. Mungkin dia membandingkan dengan keadaan di daerah asalnya.
Saat membuka Muktamar Ke-6 Dewan Masjid Indonesia (DMI), April lalu, Wapres Boediono juga mempersoalkan pengeras suara azan di masjid dan mushala yang terlalu keras dan menyentak. ”Suara azan yang sayup-sayup terasa lebih menyentuh ke sanubari,” katanya. Keluhan ini ditanggapi positif oleh banyak kalangan.
Memasuki bulan suci Ramadan, kebisingan negeri ini layak dibahas. Bising dalam artian fisik dan psikis. Bising secara psikis, misalnya wacana penegakan hukum yang kurang produktif. Orang riuh bicara tentang banyaknya koruptor, tapi hukum belum juga ditegakkan dengan prinsip equality before the law. Hukum di negeri ini masih saja tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Sementara di Hong Kong, tanpa hiruk pikuk, seorang menteri baru saja ditangkap ICAC (KPK-nya negara itu) karena menyalahgunakan tunjangan perumahan senilai Rp 300 juta. Di negeri ini, mana ada penegak hukum berani menangkap menteri?
Apa yang dikeluhkan Wapres Boediono adalah kebisingan yang bersifat fisik. Pada bulan Ramadan, masjid dan mushala berlomba menggunakan pengeras suara sejak dini hari hingga larut malam. Pukul 03.00 sudah ada yang mengingatkan waktu sahur. Pukul 23.00 masih ada tadarus Alquran dengan pengeras suara.
Para ”loud speaker man” itu mungkin tidak tahu kalau suaranya bisa mengganggu orang yang sedang tidur atau yang tengah shalat malam. Lebih-lebih bagi orang yang sedang sakit. Niat berdakwah tapi yang didapatkan kemudaratan.
Ramah Lingkungan
Kecuali panggilan azan untuk mengingatkan waktu shalat, penggunaan pengeras suara bagi keperluan lain seyogianya bisa dikelola secara bijak. Selain Indonesia, Mesir juga dilanda masalah yang sama. Konon, warga muslim di sana mulai mengeluhkan ”serangan udara” bertubi-tubi dari menara-menara masjid.
Namun seperti halnya di negeri kita, masalah di Mesir belum juga terselesaikan. Orang tampaknya enggan protes karena bisa dianggap menentang dakwah. Untunglah, keluhan Wapres langsung disikapi banyak takmir masjid dan mushala di negeri ini dengan melarang penggunaan pengeras suara lewat pukul 21.00 dan sebelum pukul 04.00.
Pengeras suara hanyalah teknologi. Teknologi apa pun bisa bermanfaat untuk keperluan manusia, atau sebaliknya bisa menjadi laknat. Bermanfaat kalau digunakan secara proporsional untuk keperluan yang penting. Bisa juga menjadi laknat kalau dipakai secara berlebihan.
Selama ini takmir masjid atau mushala kurang memedulikan kondisi lingkungan sehingga pengeras suara cenderung digunakan di segala waktu. Mereka juga kurang mempertimbangkan warga yang beragama lain. Alasan mereka adalah untuk syiar Islam, dan warga agama lain tidak akan berani protes.
Sudah saatnya setiap masjid atau mushala lebih ramah lingkungan, termasuk lingkungan udara. Masjid adalah tempat ibadah yang mensyaratkan kebersihan, ketertiban, ketenangan, kenyamanan, dan kedamaian. Untuk itu, perlu dukungan takmir yang bijak dan penataan manajemen.
Masjid bisa menjadi pelopor perubahan masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera sekaligus benteng moralitas umat, jika dikelola lebih profesional. Budaya masyarakat yang kurang baik, termasuk kebisingan yang bisa mengganggu orang lain, bisa dikendalikan mulai dari masjid.
http://www.bimapedia.com/2012/07/masjid-dan-mushala-harus-ramah.html
Sekarang Tempat Beribadah Harus Ramah Lingkungan
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »