Serta merta ia berteriak....!!!!
“Demi Allah, kita tidak akan kembali sehingga kita sampai Badar, dan
kita dirikan kemah selama 3 malam, kita akan potong unta, kita akan
makan-makan dan minum khamr sedang para biduan bernyanyi di hadapan
kita, sehingga semua orang Arab mendengar tentang kita dan keberadaan
kita lalu mereka senantiasa takut terhadap kita”
Semua pakar sirah nabawiyyah mengatakan bahwa ungkapan Abu Jahal di atas
adalah ungkapan penuh sombong dan kepongahan. Keinginannya hanya satu,
terus berperang agar dapat membinasakan Nabi Muhammad dan para
pengikutnya, terlebih rasa malunya yang luar biasa akibat lolosnya Nabi
dari kepungan para pemuda bayaran saat ingin membunuhnya sebelum
berangkat ke Madinah.
Namun ada potongan kalimat Abu Jahal yang sangat menunjukkan kesombongannya saat ia mengatakan :
“sehingga semua orang Arab mendengar tentang kita dan keberadaan kita lalu mereka senantiasa takut terhadap kita”.
Sebuah ungkapan yang penuh dengan keinginan mengalahkan musuh-musuhnya,
ya, itulah ungkapan perang urat syaraf, perang yang sesungguhnya belum
dimulai, tapi mengalahkannya harus sudah dimulai.
Dan begitulah sifat media, keberadaannya jauh lebih ampuh dari semua
jenis senjata mematikan yang ada saat ini. Daya jelajahnya mampu
menembus semua benua yang ada di dunia. Untuk menghancurkan sebuah
keluarga tak perlu menyuruh orang bayaran untuk mendatangi rumahnya.
Untuk merusak tatanan masyarakat tak perlu mengirim pasukan. Untuk
memporakporandakan bangunan negara tak perlu membuat perang dunia ke
tiga.
Semuanya cukup dengan sebuah senjata saja, media. Dan Abu Jahal sudah
sangat faham dengan hal itu, maka ia gunakan suaranya untuk memberi
informasi penting ke seluruh Arab, bahwa ia ada, dan akan terus ada
dengan segala kekuatannya.
Abu Jahal adalah tokoh penting orang-orang kafir Quraisy, ia orang
berada, telah mewarisi seluruh kehormatan dari keluarganya yang
terpandang. Karena itulah ia menjadi tokoh sentral, lidah dan
pandangannya tajam, segala yang diucapankannya selalu tampak jelas,
meski dalam hal keburukan, karena ia orang kafir.
Dalam sejarah permulaan dakwah Nabi Muhammad SAW, Abu Jahal adalah orang
yang selalu menampilkan permusuhannya terhadap Nabi, tidak hanya
menyakiti beliau dan orang-orang yang masuk Islam secara langsung, tapi
ia juga selalu menghalangi orang-orang agar tidak mengikuti ajakan Nabi,
sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam sirahnya bersumber dari
hadits Imam Bukhari bahwa saat Abu Thalib menghadapi kematiannya,
datanglah Nabi Muhammad SAW sedang di hadapan Abu Thalib telah ada Abu
Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Al Mughirah, lalu Nabi berkata
kepada Abu Thalib :
“Wahai Paman, ucapkalah La Ilaha Illallah, kalimat dimana Aku akan bersaksi untukmu nanti di hadapan Allah”,
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Al Mughirah pun langsung berkata :
“Apa kamu membenci agama Abdul Muththalib?”,
begitulah seterusnya sampai akhirnya Abu Thalib berkata :
“(Aku) Dalam agama Abdul Muththalib”,
ia menolak mengucapkan La Ilaha Illallah.
Sungguh sejarah akan terus berulang, dengan tokoh dan tempat yang pasti
akan selalu berbeda, namun mempunyai hakikat yang selalu sama. Sejarah
kebengisan Fir’aun akan terus terulang, sejarah Namrud akan terus
terulang, sejarah Qarun dan keluarganya akan terus terulang, begitu juga
dengan sejarah kebinasaan umat-umat terdahulu, seperti kaum Ad, Tsamud,
kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh dan seterusnya juga akan terus terulang,
tentu dengan nuansa yang berbeda, namun hakikat dari sebab-sebab
kebinasaannya akan selalu sama, yaitu pembangkangan terhadap Allah SWT.
Kalau kita cermati sejenak, setiap bencana yang terjadi pada umat-umat
terdahulu selalu ada kaitannya dengan pembangkangan terhadap perintah
Allah, namun yang sungguh sangat menarik untuk diperhatikan adalah,
setiap pembangkangan yang kemudian tergambar dalam kerusakan akhlak
dalam beragama, bersosial, berekonomi, berpolitik dan bernegara adalah
tokoh-tokoh yang berada di belakangnya, ada aktornya, ada motivatornya,
ada konfiguratornya, ada inisiatornya, ada eksekutornya, dan yang paling
utama adalah keberadaan sang donaturnya.
Sinyal Al Qur’an mengenai tokoh-tokoh di belakang kerusakan bisa dilihat dalam ayat 16 surat Al Isra yang artinya :
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk mentaati Allah)
tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.
Dan ayat 123 surat Al An’am :
“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat
yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu”.
Dalam ayat 16 surat Al Isra, ada 3 hal penting yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Pertama.
Arti kata “amarna”.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna “perintah” kepada “mutrafiin”
untuk berbuat kerusakan adalah menjadikan mereka memiliki kemampuan
untuk berbuat kerusakan, karena tidak mungkin Allah memerintahkan
berbuat kerusakan kepada mereka, Abdullah bin Abbas pun menegaskan ini
sebagaimana dinukil oleh Imam At Thabari dalam tafsirnya, hal ini juga
dikatakan oleh Abu Utsman Al Hindi, Abu Raja’, Abul Aliyah, Ar Rabi’,
Mujahid dan Hasan Al Bashri seperti dikutip oleh Imam Qurthubi dalam
tafsirnya.
Sedang makna kedua adalah mereka diperintahkan agar taat kepada Allah
namun mereka justru berbuat kerusakan, sebagaimana Abdullah bin Abbas,
Said bin Jubair juga mengatakan ini.
Ada juga dari kalangan ahli tafsir seperti Qatadah, Hasan Al Bashri, Abu
Haiwah As Syami, Ya’kub, Kharijah, Ad Dhahhak, Ibnu Zaid, Ikrimah,
Malik bin Zuhri termasuk juga Abdullah bin Abbas yang mengatakan arti
“amarna” adalah “kami perbanyak”, sehingga artinya adalah “Jika Kami
hendak membinasakan suatu negeri maka Kami akan memperbanyak orang-orang
yang berkelimpahan harta”.
Arti berikutnya adalah “menjadikan orang-orang yang berkelimpahan harta
itu sebagai pemimpin negeri”, sebagaimana dikatakan dalam bahasa Arab,
yang berpendapat ini adalah Abu Utsman Al Hindi, Ibnu Aziz dan juga dari
kalangan Ahlut Ta’wil.
Kesimpulan dari makna-makna yang dikatakan oleh para ahli tafsir adalah,
bahwa Allah SWT akan memerintahkan orang-orang yang berkelimpahan harta
itu agar taat kepada Allah namun mereka berbuat fasik, memperbanyak
jumlah mereka, menjadikan mereka pemimpin-pemimpin negeri, memberikan
kemampuan kepada mereka untuk berbuat kerusakan di negeri mereka.
Kedua.
Arti kata “Mutrafiin”
Imam At Thabari mengatakan bahwa Abdullah bin Abbas mengartikan sebagai
“Asyraar” dimana dalam bahasa kita bisa berarti penjahat, preman,
maling, perampok, penipu, pembunuh dan seterusnya.
Sedang Abul Aliyah mengatakan sebagai “mustakbiriin” yaitu orang-orang yang sombong, pongah dsb.
Hasan Al Bashri mengatakan sebagai “fasaqah” yaitu orang-orang yang
berbuat fasik (kerusakan). Imam Fakhruddin Ar Razi dan Imam As Syaukani
juga mengatakan ini dalam tafsir mereka dari Al Wahidy.
Ad Dhahhak mengatakan sebagai “kubaraa” yaitu para pemimpin.
Qatadah mengatakan sebagai “jababirah” yaitu pemimpin-pemimpin bengis dan diktator.
Kesimpulan dari para Ahli Tafsir, bahwa kata “mutrafiin” adalah
orang-orang yang berbuat kerusakan dari kalangan orang-orang yang
berkelimpahan uang yang mencakup para pemimpin, pengusaha, penjahat dan
seterusnya.
Sayyid Quthub dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an mengatakan :
“Ayat 16 pada surat Al Isra menegaskan bahwa, keberadaan orang-orang
yang berkelimpahan harta (mutrafiin) adalah tanda bahwa umat sedang
mengalami kerusakan”.
Ketiga.
Arti kata “fafasaqu”, berasal dari kata “fisq”.
Dalam kamus Al Mu’jamul Wasith dijelaskan bahwa secara bahasa arti “fasaqa” adalah :
“Keluar dari sesuatu”
Misalnya : “bermaksiat dan melampaui batasan-batasan syari’at”
Imam Ibnu Athiyyah dalam tafsir Al Muharrirul Wajiz mengatakan :
“Keluar dari ketaatan kepada Allah”
Dengan demikian maka setiap orang yang tidak taat kepada Allah dan
keluar dari batasan-batasan syari’at, baik dilakukan oleh orang kafir
maupun orang mukmin maka dia disebut sebagai orang “fasiq” yaitu orang
yang berbuat fasik.
Ulama membagi “fisq” menjadi dua :
Fisq yang dapat mengeluarkan pelakunya dari keimanan.
Fisq yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan.
Adapun “fisq” yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan maka ada dua :
1. Fisq dalam perkara keyakinan.
Imam Ibnu Qoyyim mencontohkan dalam Kitab Madarijus Salikin sebagai
“orang yang melakukan bid’ah” (1/362), meskipun “fisq” sendiri lebih
umum dari bid’ah sebagaimana ungkapan Ibnu Sholah dalam Fatawa Ibnu
Sholah :
“Semua pelaku bid’ah adalah orang fasik namun tidak semua orang fasik adalah pelaku bid’ah” (hal.28)
2. Fisq dalam perkara perbuatan.
Imam An Nawawi dalam Fatawa An Nawawi menjelaskan hal ini dengan ungkapan :
“Adapun perbuatan fasik maka dihasilkan dari melakukan dosa besar atau terus-menerus dalam melakukan dosa-dosa kecil (261).
Kesimpulan dari penjelasan para Ulama tentang arti “fisq” adalah semua
bentuk perbuatan maksiat kepada Allah dan berakibat pada kerusakan
syari’at NYA...
http://forum.viva.co.id/sejarah/530858-andai-di-masa-nabi-ada-stasiun-tv-pastilah-abu-jahal-pemiliknya.html
Andai di Masa Nabi Ada Stasiun TV Pastilah Abu Jahal Pemiliknya
Posted by
blogger asik
at
06.15
Tags :
#Teknologi dan Edukasi
Related : Andai di Masa Nabi Ada Stasiun TV Pastilah Abu Jahal Pemiliknya
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »